Selasa, 05 Juli 2011

Shinigami no Kokoro part 1 halaman 2

MiyazakiRei




Dengan membaca cerita ini maka anda telah setuju dengan ketentuan yang saya buat, yaitu
  1. Anda dilarang keras menyalin, atau sebagainya yang bermaksud memperbanyak ciptaan/karya tanpa menyatakan penyair, publisher, editor, sumber, dengan cara apapun.
  2. Anda setuju bahwa tidak akan mengubah isi dari cerita tersebut.
  3. Anda setuju dengan semua peraturan/ketetapan/kenijakan dari pencipta/penyair/pembuat.

“Ruri?” Tanya Akira. Ia masih belum melepaskan cengkramannya dari kerah bajuku namun pegangannya sudah mulai mengendur.
“Amagi Ruri,” Jawab Chitose, “Ia sepupuku dan juga baru masuk sekolah ini. Ia berada di kelas sebelah.”
Berberapa murid saling melihat seolah mencoba mencari tahu apakah ada yang tahu siapa yang bernama Ruri di kelas sebelah, namun tampaknya tidak ada yang mengingat.
“Itu loh anak pendiam yang duduk di pojok belakang.” Lanjut Chitose yang melihat raut kebingungan dari mereka yang berada disekitarnya dan mengikuti pembicaraan kami.
Tiba-tiba saja semua tersadar siapa yang bernama Ruri. Mereka lebih mengenalnya dari julukannya ‘Yuki Onna’. Bukan karena warna kulitnya yang putih seperti salju tetapi dari sifatnya yang sedingin es. Sesuai julukannya Ruri memang tidak mudah bergaul, ia termasuk pendiam dan hanya berkata seperlunya, raut mukanya selalu serius bahkan belum ada yang pernah melihatnya tersenyum maupun tertawa ataupun menunjukan emosi apapun. Karena sifatnya itu ia tidak memiliki teman, bahkan namanya pun tidak ada yang ingat, hanya julukannya yang melekat.
“Kamu berpacaran dengan ’Yuki Onna’?” Tanya Akira sambil melepaskan cengkramannya. Akira menatapku dengan pandangan aneh. “Kamu memiliki selera yang aneh terhadap wanita.”
“Tapi tidak kusangka Kalau ‘Yuki Onna’ akan memiliki pacar, mendekati dia saja untuk sekedar bercakap-cakap sama sulitnya seperti memanjat gunung Fuji” komentar murid lainnya.
Mereka mulai berbisik-bisik, aku yakin tidak sampai waktu pulang sekolah seluruh sekolah sudah mengetahuinya.
“Lalu ada perlu apa kemari?” Aku mengulangi pertanyaanku kepada Citose setelah memutuskan untuk menghiraukan komentar-komentar teman sekelasku mengenai hubunganku dengan Ruri.
“Bagaimana lukamu?” Tanya Chitose. “Apa kamu meminum obatmu?”
“ah, aku iri.” Kata Akira, air mata hampir mengalir di wajahnya. “sampai idola sekolah mengkhawatikan kamu.”
“Apa kalian tidak tahu bagaimana Erik mendapat luka-lukanya?” kata Chitose.
Akira dan murid lainnya menggeleng. Mereka berkumpul seperti akan mendengar dongeng saja. Sedangkan aku tanpa sadar memegang bekas luka dikepalaku yang hampir sembuh. Sementara tidak ada yang tahu cidera di dadaku yang membuatku harus minum obat penahan sakit sampai cidera retak tulang dadaku sembuh.
“Waktu itu ketika mereka berjalan berdua Erik seperti kesatria berkuda putih menyelamatkan Ruri ketika ia terpeleset dari tangga. Erik menangkap Ruri dan tidak mau melepaskannya walaupun kepalanya harus terbentur keras.”
Cerita yang dikatakan Chitose tidak ada satupun yang benar. Ia benar-benar suka membelokkan kebenaran demi kepuasannya sendiri. walau itu hanya sekedar keisengan yang suka dibuatnya tetapi tetap saja merepotkan orang-orang yang terlbat.
“sudah cukup ceritanya. Aku tidak apa-apa jadi kamu bisa kembali ke kelasmu.” Kataku menghentikan cerita Chitose.
“Ah, hampir saja lupa. Masih ada satu hal lagi.” Katanya sambil memberikan sebuah amplop putih. “Didalamnya terdapat tiket kereta dan kupon menginap selama seminggu di resort yang baru saja dibuka. Tempatnya terletak ditepi pantai, tempat yang bagus untuk berlibur bukan?”
“Lalu, kenapa memberikannya kepadaku?”
“Anggap saja sebagai permintaan maaf karena menggangu kencanmu. Ruri akan menunggumu disana, ia sudah berangkat terlebih dahulu hari ini. Pastikan kamu datang ya, jangan sampai membuatnya marah. Aku akan menyusul berberapa hari lagi.” Katanya sambil melambaikan tangan dan berjalan menuju pintu kelas. Sebelum ia sampai pada pintu Chitose berhenti sejenak lalu membalikan badan, “Didalam amplop juga kusisipkan sesuatu yang pasti membuatmu lebih bersemangat untuk pergi.” katanya sambil tersenyum nakal lalu keluar dari kelas.
Sudah sejak kemarin Ruri tidak masuk sekolah, sekolah hanya mengetahui kalau ia ada urusan keluarga yang harus dilakukan. Tapi aku yakin bukan itu alasan mengapa ia sudah tidak masuk dua hari menjelang liburan musim panas. Tanpa berpikir terlebih jauh aku mengeluarkan isi amplop yang diberikan dan menemukan sebuah tiket, sebuah kupon menginap dan sebuah foto. Sebelum aku dapat melihat foto tersebut, Akira sudah mengambilnya dari meja dan melihatnya. Dibelakangnya berberapa murid yang penasaran juga melihat dari belakang bahu sahabatku. Sekejap saja wajah mereka berubah kembali menjadi mengerikan.
........Jangan lupa +1 dan Share-nya ya...

Tidak ada komentar: